Tuesday 3 January 2012

Demontrasi Mahasiswa dan Sikap Fundamentalis Pemerintah?

Pembuka tirai 2012 ditandai dengan isu panas dengan demontrasi mahasiswa di depan Universiti Perguruan Sultan idris (UPSI).
Dalam satu kenyataan Majlis Perwakilan Mahasiswa Universiti Malaya (MPMUM) mengutuk sekeras-kerasnya tindakan polis dan anggota Unit Simpanan Persekutuan (FRU) yang menggunakan kekerasan terhadap para mahasiswa yang mengadakan perhimpunan secara aman di depan UPSI pada pagi tahun baru.


Perhimpunan secara aman diadakan untuk menuntut pihak UPSI supaya menggugurkan kes Adam Adli yang menghadapi tindakan disiplin serta menyeru kerajaan memansuhkan Akta Universiti dan Kolej Universiti (AUKU) yang mengekang kebebasan akademik pensyarah dan mahasiswa.
Apa yang berlaku sekarang ialah kerana kegagalan pemerintah dalam menciptakan sebuah “ruang dialog” bermakna dan telah menutup rapat “pintu komunikasi” di antara mahasiswa dan pemerintah sehingga amarah menjadi model psikologi dalam penyelesaian setiap masalah dan kekerasan menjadi strategi politik dalam mencapai setiap tujuan.

Dalam konteks proses demokratisasi yang sedang berlangsung, apabila setiap diri dikuasai oleh nafsu amarah sehingga timbul politik kekerasan yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membangun “ruang awam” demokratis, tempat pelbagai persoalan mahasiswa dibicarakan, diperbincangkan, didiskusi dan diperdebatkan secara terbuka, jujur, adil dan kreatif.
Kesedaran politik ini kelihatan melonjak lebih-lebih lagi setelah Mahkamah Persekutuan membuat hukuman baru-baru ini bahawa Seksyen 15(5)(a) Akta Universiti dan Kolej Universiti (AUKU) (yang gubalkan pada tahun 1971) - yang menghalang pelajar daripada melibatkan diri dalam politik kepartian - telah bercanggah dengan Perkara 10 Perlembagaan Persekutuan yang memperuntukkan kebebasan bersuara.
Keadaan ini diperburukkan lagi dengan kelulusan Parlimen tergesa-gesa baru-baru ini terhadap Akta Perhimpunan Aman (Peaceful Assembly Act) yang sebenarnya mengekangkan lagi ruang berkumpul dan bersuara mungkin juga menjadi satu faktor atau isu tambahan yang membuat sebilangan pelajar berasa terpanggil untuk menyahut seruan kepimpinan pelajar untuk turut memperjuangkan hak-hak asasi pelajar dan orang ramai.
Ketidakmampuan pemerintah membangun sebuah “tindakan komunikatif” bersama menyebabkan pintu komunikasi tertutup rapat dan saluran penyampaian mesej tersumbat yang membawa manusia berbicara dengan dirinya dalam apa yang disebut sebagai `politics of monologism’.
Oleh itu akhirnya ruang kehidupan dibangun untuk pengisian ruang, kotak dan terdirinya pagar-pagar “eksklusifme” yang di dalamnya setiap kelompok (sosial, ekonomi, politik, keagamaan) merayakan ruang-ruang eksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa aman dan nyaman secara eksistensial tetapi dengan cara menutup diri dari bahkan meniadakan pihak-pihak lain (mereka yang lain seperti mahasiswa yang kritikal terhadap AUKU atau dasar pemerintah).

Demontrasi siswa ini harus dilihat dalam konteks yang luas lagi, menjadi sebahagian daripada gelombang rakyat yang membantah ketidakadilan, penyalahgunaan kuasa dan rasuah justeru menginginkan hak asasi manusia mereka, serta perubahan dan reformasi sosial. Ini secara paradoks menciptakan sebuah ruang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh prinsip “fundamentalisme” – the politics of fundamentalism”. Oleh itu dengan cara ini kita dapat melihat demokrasi akan dibangun secara dalaman oleh komponen-komponen bangsa dan elit politik melalui hasrat kelompok dan parti pemerintah (collective desire) yang menggelora tidak terbendung – disebabkan oleh kegagalan mereka membangun ruang awam – sehingga memuncak pula rasa fundamentalisme politik, keagamaan, ekonomi, bangsa, kaum mahupun kebudayaan. Apa yang akan dibangunkan ialah eksklusivisme di atas dasar asas esensialisme atau kepentingan sempit yang anti-dialog, anti-perubahan dan anti kepada perundingan sehingga menciptakan pandangan buruk terhadap pihak luar yang memberikan tekanan. Inilah yang berlaku kepada munculnya demontrasi Bersih dan mahasiswa sekarang. Eksklusivisme merupakan sebuah cara untuk menciptakan semacam sebuah tempat atau ruang yang di dalamnya setiap orang merasa mendapatkan rasa aman secara eksistensial, khususnya dari ancaman dominansi, ketidakadilan, kesenangan dan tekanan pihak luar dengan mengembangkan perlindungan diri secara berlebihan—hyperprotection. Ini juga membawa kepada tindakan pihak keselamatan secara kekerasan walaupun demontrasi aman mahasiswa. Apalah sangat sesnjata yang ada kepada mahasiswa itu? 

Esensialisme menurut pakar semiotika Indonesia Yasraf Amir Piliang sebagai sebuah kecenderungan pemisahan kelompok-kelompok manusia berdasarkan genealogi budaya dan sifat biologisnya—merupakan salah satu asas kepada perlindungan hiper (perlindungan berlebihan atau melampau) tersebut, yang melaluinya rasa ketidakamanan ontologis, krisis identiti dan budaya yang meruncing, ketidakadilan negara menyebabkan orang menoleh pada akar-akar budaya dan keyakinannya yang dianggap dapat memberikan rasa aman itu. Esensialisme yang berkembang ke arah ekstrem menggiring kepada fundamentalisme dalam pengertian yang luas. Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of the Others (1999) menjelaskan "fundamentalisme" sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara mengekalkan pelbagai cara, keyakinan, dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi (terhadap isu-isu tekanan atau hak asasi), eksklusivisme (hanya golongan tertentu yang mendapat hak) dan esensialisme (mengutamakan kepentingan golongan tertentu). Dalam hal ini, fundamentalisme tidak hanya terjadi di negara-negara mundur atau miskin atau di "Timur Tengah", tetapi di negara-negara maju seperti Amerika Syarikat (AS). Fundamentalisme bukan sahaja dikaitkan dengan agama tetapi terdapat pelbagai fundamentalisme seperti fundamentalisme politik, ekonomi, perkauman dan kebudayaan. Contohnya fundamentalisme ekonomi ultrakapitalis" seperti "persaingan di pasaran bebas" akan berhadapan dengan "fundamentalisme kepentingan bangsa seperti ultra-nasionalis", yang berakhir dengan konflik dan kekerasan bahkan boleh membawa kepada kematian . Fundamentalisme keagamaan ultradogmatis" akan bertembung dengan "fundamentalisme budaya ultraliberal" yang mencetuskan konflik dan ketegangan dalam pelbagai persoalan sosial-kebudayaan. Kelompok fundamentalis yang berhadapan secara bersemuka dengan kelompok-kelompok fundamentalis lainnya akan melahirkan kelompok-kelompok "eksklusiviti" (politik, sosial, ekonomi, budaya) dalam demokrasi, yang terdiri dari mereka yang anti-penyesuaian, perubahan, dan transformasi; yang tidak mahu berdialog, bekerja sama, bersekutu atau berunding dengan pihak-pihak lain (seperti parti politik, agama, kaum, kelompok mahu pun kumpulan mahasiswa), dengan membangun sikap "permusuhan" terhadap yang lain atau— to demonized others. Oleh itu proses demokratisasi yang tidak didukungi oleh asas budaya toleransi, keterbukaan dan dialogisme telah mengubah watak demokrasi dari sebuah ruang komunikatif yang menjadi wadah di mana pelbagai persoalan bangsa diperdebatkan secara terbuka, adil, dan bertanggung jawab, ke arah "ruang fundamentalis", tempat segala persoalan bangsa diselesaikan melalui gejolak amarah dan strategi kekerasan.

Oleh terciptalah apa yang dijelaskan Yasraf sebagai demokrasi fundamentalis—the fundamentalist democracy.
Agak pelik mengaitkan fundamentalisme dengan demokrasi, sebuah sistem politik yang membawa keterbukaan atau pemilihan melalui pengundian dalam proses pilihan raya dan seumpamanya. Tentunya ia adalah sebuah paradoks.
Ini kerana fundamentalisme bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, kegagalan pemerintah yang mengamalkan demokrasi dalam membangun ruang publik, ruang dialog atau ruang komunikasi yang terbuka bebas tetapi bertanggung jawab menjadi penyebab utama kepada tercetusnya "demokrasi fundamentalis" itu.
Dengan perkataan lain, demokrasi telah gagal membangun sebuah masyarakat multikultural disebabkan kegagalan dalam menegakkan prinsip "demokrasi multikultural" (multicultural democracy) itu sendiri, yang diperlihatkan oleh ketidakmampuan membangun ruang dialog, toleransi, dan komunikasi yang cerdas dan produktif di antara berbagai kelompok majoriti dan minoriti sehingga di satu pihak kekuatan didominasi kelompok politik tertentu; di pihak lain, cara-cara seperti demontrasi masih menjadi satu-satunya senjata kelompok-kelompok minoriti dalam perjuangan haknya.
Kegagalan demokratisasi juga tampak jelas pada tingkat normatif. Dalam wacana pembangunan landasan normatif-perundangan, yang mengatur pelbagai ruang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya), ketimbang mampu membangun iklim komunikasi yang bebas, terbuka, tetapi bertanggung jawab, tetapi apa yang dominan ialah iklim "pertengkaran" (dispute) tidak sihat, tidak konstruktif, dan kreatif.

Inilah juga yang menjadi ruang utama media pro pemerintah, mengutamakan pemberitaan, visual dan penentapan agenda yang manipulatif, distortif dan penuh permusuhan di sebelah pihak.
Setiap pihak secara keras kepala mempertahankan prinsip fundamentalnya yang hampa toleransi. Golongan fundamentalis apabila berhadapan dengan fundamentalis lainnya akan membawa kepada situasi "ketidakmungkinan hidup bersama di bawah satu pengaturan" (incommensurability), dalam pengertian pengaturan formal sesebuah kelompok— ia akan dipertahankan dengan begitu keras tetapi dapat toleran apabila kumpulan mahasiswa pro-pemerintah mengadakan demontrasi.

Satu-satunya jalan keluar dari "ketidakmungkinan pengaturan bersama" ini adalah menumbulkan kesedaran dan keterbukaan terhadap prinsip kepelbagaian yang transformatif.
Apa yang dimaksudkan di sini ialah "keamanan eksistensial" yang diinginkan setiap kelompok sosial, politik, ekonomi, budaya mahukan mahasiswa yang hanya dapat dibangun apabila dalam menghidupkan rasa aman itu "keamanan eksistensial" di mana pihak lain juga dihormati dan diberi tempat melalui sebuah prinsip toleransi, rasa kebersamaan, dan keadilan (justice) sehingga rasa aman eksistensial itu menjadi "rasa aman bersama" dalam sebuah `multicultural democracy’ atau juga demokrasi kebajikan.

No comments:

Post a Comment